Malige (Rumah Sultan). Di Liya
Namanya Kamali (Rumah Mo,ori)
Potensi Situs dan Benda Cagar
Budaya (BCB) di wilayah Buton sebagai karya nyata peradaban manusia
pendukungnya di masa lalu sungguh memukau dan beraneka ragam. Tidak
mengherankan jika banyak orang berkeinginan untuk mengenal Buton lebih dekat,
baik secara harfiah, ilmu pengetahuan, pemerintahan, politik dan lainnya,
hingga pada kebutuhan bathin seseorang dalam rangka menjalani proses
kehidupannya. Mereka yang berkunjung ke Negeri Butun (berita di berbagai
ekspedisi purba dan kitab Negara Kertagama; Butun = jenis pohon pantai =
Baringtonia Asiatica), ingin mendalami dan mempelajari ilmu tauhid dan agama
Islam Tarekat di Buton yang terkenal itu. Dan sebaliknya banyak pula orang,
kelompok, bangsa dalam sindrom tertentu, sengaja ingin menghancurkan dan
memfitnah Buton sekaligus membunuh karakter manusianya.
Daerah seribu pulau, seribu
benteng dan istilah seribu lainnya, adalah julukan Pulau Buton, secara
geografis terletak pada garis lintang dari utara ke selatan antara 20⁰30’ - 125⁰ Bujur
Timur, merupakan kawasan timur jazirah tenggara Celebes Island = Pulau Sulawesi
Indonesia.
Menurut referensi serta pengakuan
sejarah dari berbagai sumber, Kerajaan/Kesultanan Buton merupakan wilayah
otonom dan merupakan kawasan mandiri yang memiliki keistimewaan. Karakter
budaya dan pola pikir dari masyarakatnya yang cerdas, inovatif serta mampu
bertahan adalah dasar mengapa mereka pandai berdiplomasi, berwatak keras, dan
cerdik sehingga jangan diherankan apalagi sampai dipolemikkan bahwa; “Di masa
lalu, Kerajaan/Kesultanan Buton, tidak pernah tunduk dan dikuasai, apalagi
terjajah oleh bangsa manapun di dunia dan kerajaan lain di nusantara”. Jika
dikatakan kerjasama/hegemoni dengan bangsa atau kerajaan lain, Buton
melakukannya, karena memang tipe kerajaan ini terbuka pada siapapun dan
kebersahajaannya yang selalu ingin bersahabat, menolong dan bermitra dalam
berbagai bidang adalah keutamaan dan kewajiban kerajaan, demi menciptakan kesejahteraan
dan keamanan masyarakatnya masa itu.
Penamaan Buton telah diperjelas
dari beberapa informasi diantaranya:
1. Nama
Buton telah dikenal di Jawa tepatnya pada masa Gajah Mada menjadi Patih
Kerajaan Majapahit. Berita ini diketahui dari Kitab Nagarakertagama (1365),
pupuh 14 karangan prapanca. Dalam kitab ini berbunyi, “muwah tanah I Bantayan
pramuka Bantayan le Luwuk tentang Udamaktrayadhi nikanang sanusaspupul
Ikangsakasanusa nusa Makasar Butun (Buton) Banggawi Kuni Craliyao mwangi (ng)
Selaya (Selayar) Sumba […..]” (Pigeaud, 1962).
2. Berita
dari Tome Pires yang menceritakan pelayarannya di perairan nusantara pada tahun
1512-1515 Masehi. Ia berangkat dari Tumasik (Singapura) ke Maluku melalui
Borneo (Kalimantan), Makassar dan Buton. Informasi ini menunjukan bahwa Buton
ketika itu telah dikenal oleh pelaut yang melintasi perairan nusantara termasuk
orang asing.
3. Lembar
Naskah Kuna, diantaranya berita tentang, seorang Belanda bernama Apollonius
Schot diutus oleh VOC untuk mengadakan perjanjian kerjasama dengan Sultan Buton
pada bulan Desember 1612. Perjanjian ini terjadi pada tanggal 5 Januari 1613.
Kedua belah pihak menyetujui suatu perjanjian yang berisi antara lain;
kebebasan Buton melaksanakan agama dan sistim pemerintahannya (Yunus, 1995:11-14).
4. Penulisan
nama Buton yang dijumpai pada sketsa peta yang dibuat oleh Gubernur Jenderal
Pieter Both tahun 1613, menyebut Straat Van Boeton untuk selat Buton (Nusriat,
1988:70)
Sebenarnya nama Buton hanya lazim
digunakan oleh orang luar untuk sebutan Kesultanan Buton. Penduduk setempat
terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Pernyataan ini didukung pula oleh A.
Ligtvoet yang bertugas di negeri ini. Ia menulis buku yang berjudul,
“Bescrijving en Geschiedenis Van Boeton Sigra Venhoge” (1877), yang menyebutkan
bahwa; “He rijk Boeton, dat in de Landstaal Bolio (Wolio), in het Malaeisch
Boeton, en in het Makassarch en Boeginesch Boetoeng heet” (Abubakar, 1999:25)
Ibarat prasasti dan goresan profil
pada candi-candi di Jawa, yang mengkisahkan berbagai hal dan peristiwa, seperti
halnya kisah babad tanah jawi, Buton pun memiliki kisah yang tak kalah
menariknya. Eksistensi dari nilai-nilai serta kearifan budaya dan peradaban
Buton masa lalu, masih dapat disaksikan pada persebaran lambang/simbol maupun
rangkaian ragam hias di berbagai pelosok kadie/kerajaan-kerajaan kecil yang
mengakui keberadaan Kerajaan/Kesultanan Buton. Wilayah 72 (tujuhpuluh dua)
kadie terletak dan tersebar di seluruh kepulauan dan daratan Buton. Kini kadie
menjadi referensi dan oleh parah ahli humaniora khususnya arkeolog; wilayah
kadie dikategorikan sebagai situs pemukiman sekaligus sebagai bukti konkrit
bahwa Buton masa lalu memang Raya dan Jaya. Pada kesempatan di kolom ilmiah
ini, penulisan hanya dibatasi pada kekayaan dan keragaman dari makna simbolis
pada Istana Malige di Buton.
Dalam kamus besar Wikipedia,
menyebutkan bahwa Istana Sultan Buton disebut Kamali atau Malige. Bangunannya
didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, dapat
berdiri dengan dengan kokoh dan megah di atas sandi yang menjadi landasan
dasarnya. Rumah adat Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya
dari bahan kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai.
Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat
lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil atau sempit
ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar. Seluruh bangunan
tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu.
Tiang-tiang depan terdiri dari 5 (lima) buah yang berjajar ke belakang sampai
delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 (empatpuluh) buah tiang.
Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang
artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala dan semuanya bersegi
empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang
ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui
siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4
(empat) buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 (tiga) petak merupakan rumah
rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 (enam) buah akan mempunyai 5 (lima)
petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau rumah
anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang
samping 8 (delapan) buah berarti rumah tersebut mempunyai 7 (tujuh) ruangan dan
ini khusus untuk rumah Sultan Buton.
Keterangan yang lebih umum dan
luas lagi menjelaskan bahwa Kamali/Istana Malige (Kamali = Istana = rumah
raja/sultan/pejabat kesultanan; Malige = Mahligai) sebagai istana Sultan di
analogikan dengan tubuh manusia. Hal ini berkaitan dengan perwujudan Sultan
sebagai pusat dari segala kekuatan. Kepercayaan yang menyangkut kekuatan yang
berpusat pada raja berakar dari konsep dewa yang dikenal sejak jaman pra-Islam
(Moertono, 1985, dalam Musadad dkk, 1998:21). Hal senada diungkapkan pula oleh
Soejono yang mengatakan bahwa Sultan dianggap sebagai seorang tokoh yang
menguasai masyarakat dan dapat menghubungkannya dengan dunia ghaib (Soejono,
1993:217).
Istana Malige merupakan salah satu
dari peninggalan arsitektur tradisional Buton, dapatlah dikatakan sebagai hasil
dan kekayaan dari proses budaya (cultural process). Dalam hal ini Kamali/Istana
Malige merupakan cagar budaya yang keberadaannya dapat mengungkap berbagai
sistem kehidupan masyarakat pendukungnya, baik itu mengenai sistim sosial,
teknologi tradisional (profan) maupun kepercayaan (religi) yang masih bertahan
hingga sekarang. Seluruh lambang atau simbol yang dimaksud, melekat cantik di
berbagai benda/artefak peninggalan Kerajaan/Kesultanan Buton. Salah satu
peninggalan arsitektur tradisional Buton yang kaya akan makna simbolis baik
konstruktif maupun dekoratif dapat disaksikan di Istana Malige.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa, fungsi dan makna simbolis pada bangunan tersebut dipengaruhi oleh
pemahaman masyarakat secara keseluruhan tentang konsep tasawuf, yang menganggap
bahwa pemilik kamali/istana Malige, dalam hal ini Sultan Buton adalah replikasi
dari wajah Tuhan (Allah) yang wujudnya dianalogikan dalam bentuk arsitektur
rumahnya (istananya) baik yang bersifat konstruktif maupun dekoratif. Bentuk
lantai dan atapnya yang bersusun menunjukkan kebesaran dan keagungan Sultan.
Bentuk tersebut juga menggambarkan fungsi Sultan sebagai pimpinan agama,
pimpinan kesultanan serta pengayom dan pelindung rakyat. Hal ini senada dengan
yang dikatakan oleh beberapa ahli tafsir/hadist yang mengarah pada sabda Nabi
Muhammad, SAW, termuat dalam tafsir Kanzil-Umal (Andjo, 199:53). Hadist
tersebut mempertegas tentang fungsi dan tanggung jawab Sultan sebagai amiril
mu’minin. Pemahaman dasar simbol kosmologis dari Istana Malige, Kamali dan atau
rumah masyarakat biasa di Buton pada dasarnya adalah sama sebab berasal dari
satu konstruksi yang sama yang disebut banuwa tada (rumah ber-penyangga). Di
katakan Istana/Kamali jika bangunan tersebut di huni oleh pejabat
kerajaan/kesultanan, dengan menambahkan tiang penyangga di setiap sisi
bangunan, berfungsi konstruksi semacam mata kipas, yang disebut kambero,
lengkaplah di sebut kamali karena di sebut banua tada kambero, inilah yang
membedakannya dengan rumah masyarakat biasa yang cukup disebut dengan satu mata
penyangga/banua tada.
Satu hal yang menarik tentang
pemaknaan sama pada rumah pejabat kerajaan/kesultanan dengan masyarakat biasa
adalah peninggian lantai/ruangan dalam rumah yang berbeda-beda. Peninggian
lantai setiap ruangan ini merupakan pola awal konstruksi yang sudah menjadi
aturan pokok jika ingin membangun sebuah rumah di Buton. Ruangan semakin
kebelakang semakin tinggi sama dengan badan perahu antara haluan ke buritan
atau posisi sujud dalam shalatnya seorang Islam. Sedangkan pembagiannya
tergantung luas dan besar bangunan.
Sumintardja (1978), dalam hal ini
beranggapan bahwa, secara simbolis ruangan yang terpenting diberi lantai yang
lebih tinggi daripada ruangan-ruangan lainnya. Penerapan tata ruang seperti ini
terlihat pula pada rumah tradisional di Aceh, Minangkabau, Palembang dan
lainnya di daerah yang mayoritas beragama Islam.
Untuk Istana Malige pembagian tata
ruangan tersebut mengandung unsur pemaknaan sebagai berikut:
1. Disebut
Sasambiri disimbolkan sebagai penggambaran pribadi Sultan yang selalu terbuka
kepada rakyatnya. Hal ini terlihat pada penempatan pintu utama dan pintu
belakang yang fungsi umumnya untuk keluar-masuknya orang kedalam istana.
2. Disebut
Bamba dan Tanga disimbolkan sebagai rongga perut, berfungsi sebagai tempat
berkumpulnya tamu dan menampung segala pesoalan yang ditujukan kepada Sultan
maupun keluarganya. Bamba biasanya digunakan untuk tamu yang bukan kerabat
dekat Sultan sedangkan tanga digunakan untuk kerabat dekat Sultan.
3. Disebut
Suo disimbolkan sebagai rongga dada dan kepala. Hal ini dihubungkan dengan
penempatan kamar utama yang berfungsi sebagai tempat peraduan Sultan. Selain
itu Suo berhubungan dengan tradisi masyarakat setempat yang disebut po’suo.
Tradisi ini berbentuk acara ritual yang ditujukan kepada gadis-gadis untuk
dipingit karena dianggap sudah dewasa (aqil baligh) dan pantas untuk
berkeluarga.
4. Penghuni
istana disimbolkan sebagai nyawa atau ruh pada manusia. Hubungan antara tubuh
atau jasad dengan ruh manusia mengandung pemahaman saling menjaga dan saling
merawat dan memelihara.
Pembagian ruangan yang telah
disebutkan dibatasi oleh tetengkala (papan pisah). Hasil wawancara dengan tokoh
masyarakat Buton (Alm. La Ode Saidi-adalah Anak kandung Sultan Buton 37,
pewaris Istana Malige), bahwa Tetengkala berfungsi sebagai pembatas dan tanda
kejelasan fungsi ruangan dalam istana Malige. Fungsi pemisahan dimaksud
dimisalkan tentang tamu laki-laki ditempatkan diruangan bamba sedangkan tamu
wanita diruangan tanga.
Untuk fungsi dapur dan kakus (wc),
harus terpisah dengan induk bangunan, dan susunan lantainya lebih rendah dari
lantai bangunan utama. Pada Kamali/Istana Malige bangunan untuk dapur dan kakus
tersebut di bangun terpisah dan hanya di hubungkan oleh satu tangga. Bangunan
dapur dan kakus secara simbolis dimaknai sebagai dunia luar yang keberadaannya
jika dianalogikan pada tubuh manusia adalah pembuangan. Tampak bangunan terbagi
3 (tiga) sebagai ciri 3 (tiga) alam kosmologi yakni; alam atas (atap), alam
tengah atau badan rumah dan alam bawah atau kaki/kolong. Masing-masing bagian
tersebut dapat diselesaikan sendiri-sendiri tetapi satu sama lain dapat
membentuk suatu struktur yang kompak dan kuat dimana keseluruhan elemennya
saling kait-mengkait dan berdiri diatas tiang-tiang yang menumpu pada pondasi
batu alam (Maryono, dkk, 1985:61). Pondasi batu alam ini dalam bahasa Buton di
sebut Sandi.
Sandi tersebut tidak di tanam,
hanya di letakkan begitu saja tanpa perekat dan berfungsi meletakkan tiang
bangunan. Antara sandi dan tiang bangunan di antarai oleh satu atau dua papan
alas yang ukurannya disesuaikan dengan diameter tiang dan sandi. Fungsinya
untuk mengatur keseimbangan bangunan secara keseluruhan. Penggunaan batu alam
tersebut bermakna simbol prasejarah dan pemisahan alam (alam dunia dan alam
akherat), adalah konsep dualisme, walaupun sebenarnya jika ditinjau dari fungsinya
lebih bersifat profan.
Makna simbolis pada konstruksi
lain Kamali/Istana Malige diantaranya adalah:
• Atap
yang disusun sebagai analogi susunan atau letaknya posisi kedua tangan dalam
shalat, tangan kanan berada di atas tangan kiri. Pada sisi kanan kiri atap
terdapat kotak memanjang berfungsi bilik atau gudang. Bentuk kotak tersebut
menunjukkan adanya tanggungjawab Sultan terhadap kemaslahatan rakyat.
• Balok
penghubung yang harus diketam halus adalah penggambaran budi pekertinya orang
beriman, sebagai analogi bagi penghuni istana,
• Tiang
Istana di bagi menjadi 3 (tiga) yang pertama disebut Kabelai/Tutumbu (tiang
tengah = tumbuh terus), disimbolkan sebagai ke-Esa-an Tuhan yang pencerminannya
diwujudkan dalam pribadi Sultan. Kabelai ditandai dengan adanya kain putih pada
ujung bagian atas tiang. Penempatan kain putih harus melalui upacara adat
(ritual) karena berfungsi sakral. Berikutnya adalah Tiang Utama sebagai tempat
meletakkan tada (penyangga). Bentuk tada melambangkan stratifikasi sosial atau
kedudukan pemilik rumah dalam Kerajaan/Kesultanan. Tiang lainnya adalah tiang
pembantu, bermakna pelindung, gotong royong dan keterbukaan kepada rakyatnya.
Ketiga tiang ini di analogikan pula sebagai simbol kamboru-mboru talu palena,
yang maksudnya ditujukan kepada tiga keturunan (Kaomu/kaum) pewaris jabatan
penting yakni Tanailandu, Tapi-Tapi dan Kumbewaha.
• Tangga
dan Pintu mempunyai makna saling melengkapi. Tangga depan berkaitan dengan
posisi pintu depan, sebagai arah hadap bangunan yang berorientasi timur-barat
bermakna posisi manusia yang sedang shalat. Pemaknaan ini berkaitan dengan
perwujudan Sultan sebagai pencerminan Tuhan yang harus di hormati, dan secara
simbolis mengingatkan pada perjalanan manusia dari lahir, berkembang dan
meninggal dunia. Berbeda dengan tangga dan pintu belakang yang menghadap utara
disimbolkan sebagai penghargaan kepada arwah leluhur (nenek moyang/asal-usul).
• Lantai
yang terbuat dari kayu jati melambangkan status sosial bahwa sultan adalah
bangsawan dan melambangkan pribadi sultan yang selalu tenang dalam menghadapi
persoalan.
• Dinding
sebagai penutup atau batas visual maupun akuistis melambangkan kerahasian
ibarat alam kehidupan dan alam kematian. Dinding dipasang rapat sebagai upaya
untuk mengokohkan dan prinsip Islam pada diri Sultan sebagai khalifah.
• Jendela
(bhalo-bhalo bamba) berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara. Pada bagian
atasnya terdapat bentuk hiasan balok melintang member kesan adanya pengaruh
Islam yang mendalam. Begitu pula pada bagian jendela lain yang menyerupai
kubah. dll
Makna simbolis pada Dekorasi
Kamali/Istana Malige terbagi dua yakni yang berbentuk hiasan flora dan fauna,
diantaranya adalah:
1. Nenas
merupakan simbol kesejahteraan yang ditumbuhkan dari rakyat. Secara umum simbol
ini menyiratkan bahwa masyarakat Buton agar mempunyai sifat seperti nenas, yang
walaupun penuh duri dan berkulit tebal tetapi rasanya manis.
2. Bosu-bosu
adalah buah dari pohon Butun (baringtonia asiatica) merupakan simbol
keselamatan, keteguhan dan kebahagiaan yang telah mengakar sejak masa
pra-Islam. Pada pemaknaan yang lain sesuai arti bahasa daerahnya bosu-bosu
adalah tempat air menuju pada perlambangan kesucian mengingat sifat air yang
bening dan suci. Upacara ritual tertentu bagi masyarakat Buton tidak dianggap
sah apabila tidak diadakan sejenis makanan tradisional yang disebut katupa
butu, yang berarti ketupat butun, yakni ketupat sebesar buah butun (Yunus,
1995:11)
3. Ake
merupakan hiasan pinggir atap yang bentuknya seperti patra (daun). Pada Istana
Malige, Ake dimaksudkan sebagai wujud kesempurnaan dan lambang bersatunya
antara Sultan (manusia) dengan Khalik (Tuhan). Konsepsi ini banyak dikenal pada
ajaran tasawuf, khususnya Wahdatul Wujud (Saptono, 1996:18)
4. Kamba/kembang
yang berbentuk kelopak teratai melambangkan kesucian. Karena bentuknya yang
mirip pula matahari, orang Buton biasa pula menyebutnya lambang Suryanullah
(surya=matahari, nullah=Allah). Bentuk ini adalah tempat digambarkannya Kala
pada masa klasik, dan merupakan pengembangan Sinar Majapahit pada masa Pra
Islam di Buton, mengingatkan hubungan persaudaraan dan persahabatan Kerajaan
Buton dan Kerajaan Majapahit masa lalu berdasarkan penyebutan dan keberadaan
Kerajaan Butun/Buton di beberapa pupuh/pasal dalam kitab Negara Kertagama.
Adapun kedudukan simbol matahari yang biasa digambarkan, sekarang hanya berupa
volute (Subarna, 1987:100). Simbol kamba ini terdapat pula pada beberapa Nisan
Kuna bangsawan Buton masa lalu.
5. Terdapatnya
Naga pada bumbungan atap, melambangkan kekuasaan, dan pemerintahan. Pada masa
Hindu-Budha hiasan Naga dihubungkan dengan ceriteraSamodramanthana. Cerita ini
berisi tentang usaha para dewa mengacau laut untuk mendapatkan air amerta
(Soekmono dalam Saptono, 1996:19). Naga adalah Binatang Mitos yang berada di
Langit,. Naga juga merupakan lambang alam bawah (bumi) sebagai kesuburan, juga
merupakan lambang alam kematianyang menjamin dan dijadikan kendaraan dari dunia
ke alam baka. Motif naga menjadi hiasan yang terdapat diseluruh Asia hingga
Australia (Bintarti, 1987:292). Keberadaan Naga di khasanah simbolisasi Buton,
mengisahkan pula asal-usul bangsa Wolio yang di yakini datang dari daratan
Cina.-Mongol.
6. Terdapatnya
Tempayan berlambangkan kesucian. Tempayan ini mutlak harus ada di setiap
bangunan kamali, mesjid, tempat atau makam suci, maupun rumah rakyat biasa. dll
Kamali/Istana Malige dalam
penataan struktur bangunannya, didasari oleh konsep kosmologis sebagai wujud
keseimbangan alam dan manusia kepada tuhannya (Allah SWT). Disisi lain
keberadaannya merupakan media penyampaian untuk memahami kehidupan masyarakat
pada jamannya (kesultanan) dan sebagai alat komunikasi dalam memahami bentuk
struktur masyarakat, status sosial, ideologi dan gambaran struktur pemerintahan
yang dapat dipelajari melalui pemaknaan lambang-lambang, simbol maupun ragam
hiasnya secara detail.
Secara umum dapat digambarkan
bahwa susunan ruangan dalam istana Malige adalah sebagai berikut:
1. Lantai
pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan kedua berfungsi
sebagai tempat menerima tamu atau ruang sidang anggota Hadat Kerajaan Buton.
Ruangan ketiga dibagi dua, yang sebelah kiri dipakai untuk kamar tidur tamu,
dan sebelah kanan sebagai ruang makan tamu. Ruangan keempat juga dibagi dua,
berfungsi sebagai kamar anak-anak Sultan yang sudah menikah. Ruang kelima
sebagai kamar makan Sultan, atau kamar tamu bagian dalam, sedangkan ruangan
keenam dan ketujuh dari kiri ke kanan dipergunakan sebagai makar anak perempuan
Sultan yang sudah dewasa, kamar Sultan dan kamar anak laki-laki Sultan yang
dewasa.
2. Lantai
kedua dibagi menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi sebelah kanan dan 7
kamar di sisi sebelah kiri. Tiap kamar mempunyai tangga sendiri-sendiri hingga
terdapat 7 tangga di sebelah kiri dan 7 tangga sebelah kanan, seluruhnya 14
buah tangga. Fungsi kamar-kamar tersebut adalah untuk tamu keluarga, sebagai
kantor, dan sebagai gudang. Kamar besar yang letaknya di sebelah depan sebagai
kamar tinggal keluarga Sultan, sedangkan yang lebih besar lagi sebagai Aula.
3. Lantai
ketiga berfungsi sebagai tempat rekreasi.
4. Lantai
keempat berfungsi sebagai tempat penjemuran. Di samping kamar bangunan Malige
terdapat sebuah bangunan seperti rumah panggung mecil, yang dipergunakan
sebagai dapur, yang dihubungakan dengan satu gang di atas tiang pula. Di
anjungan bangunan ini dipergunakan sebagai kantor anjungan. Pada bangunan
Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukiran naga yang terdapat di atas
bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung pada papan lis atap,
dan di bawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandung
makna yang sangat dalam, yakni ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan
Buton. Sedangkan ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah
nenas saja, melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton.
Bunga nenas bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung
kerajaan hanya Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit
nenas tidak tumbuh dari bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru.
Ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat
diwariskan kepada anaknya sendiri. Falsafah nenas ini dilambangkan sebagai
kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip rongga manusia.
Sangat disayangkan jika keberadaan
bangunan maupun pemaknaan simbol tersebut cenderung di abaikan, contoh kasus
adalah banyaknya bangunan rumah/gedung permanen (batu dan semen) di lokasi
Situs Benteng Keraton Buton dan situs benteng lainnya di daerah ini yang jelas
menyalahi konsep pelestarian. Kasus lain adalah keberadaan dari replika rumah
adat Malige di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, menyalahi
citra/image, karena bangunan tersebut telah di padukan dengan rumah etnis lain
selain Buton, yang seharusnya di bangun secara terpisah agar Identitas dan
keragaman khasanah rumah adat tradisional Sulawesi Tenggara khususnya dan
Indonesia umumnya itu semakin jelas bukan malah samar-samar. Kasus lain yang
lebih aneh adalah peng-karakter-an simbol Naga di Pantai Kamali Kota Bau-Bau,
yang seharusnya Naga merupakan simbol binatang langit, bukan simbol binatang
bumi.
Mari kita semua membuka jendela
hati, dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai dan kearifan budaya lokal,
terutama dalam pemaknaan simbolis, baik itu lambang maupun ragam hias, sebagai
karya monumental para leluhur yang masih tetap mengawasi tindak tanduk anak
cucunya di dunia. Satu hal yang perlu kita ingat bersama bahwa “sesungguhnya
manusialah satu-satunya mahluk yang dapat dibunuh dengan sebuah lambang
(simbol)” (by Leslie White). Jadi, berhati-hatilah dengan sebuah simbol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar